Tanggapan dan Pernyataan Forum HarimauKita atas Kematian Harimau Sumatera “Bakas”

Foto oleh drh. Sugeng Dwi Hastono/FHK 

Foto oleh drh. Sugeng Dwi Hastono/FHK 

Foto oleh drh. Sugeng Dwi Hastono/FHK 

Forum HarimauKita menyampaikan keprihatinan mendalam atas kematian Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) jantan dengan ID 13 RL Male, yang dikenal dengan nama Bakas, pada 7 November 2025 di Lembaga Konservasi Lembah Hijau Lampung. Kami berbelasungkawa atas matinya satu individu harimau liar — spesies menjadi simbol upaya konservasi Indonesia, yang sayangnya jumlahnya terus menyusut.

Harimau cenderung menghindar dari pandangan dan interaksi dengan manusia atau sifat elusif (elusive), sehingga di setiap proses pemindahan satwa, dinding kandang harus ditutup rapat untuk menghindari satwa kontak visual dengan manusia di sekitarnya dan menghindari suara gaduh dengan meminimalkan petugas yang berada di sekitar kandang satwa. Salah satu prinsip animal welfare (kesejahteraan satwa) yang perlu diterapkan dalam setiap penanganan satwa adalah “bebas dari ketakutan dan rasa tertekan”, bahwa satwa harimau harus bebas dari rasa takut, baik dari harimau jantan lainnya maupun setiap tekanan dari kehadiran manusia di sekitarnya. Jika hal ini tidak dihindari dapat membuat harimau berada dalam kondisi ketakutan berlebih, menjadikan stres pada satwa dan memberikan efek negatif.

Berdasarkan siaran pers resmi BKSDA Bengkulu, Bakas dipindahkan dari PPS Lampung ke Lembah Hijau Lampung dengan alasan keamanan dan perawatan yang lebih memadai. Namun, beberapa catatan dan pertanyaan muncul dari kami, terutama menyangkut prosedur dan manajemen translokasi satwa liar yang berisiko tinggi seperti harimau dewasa agresif.

Proses Penanganan dan Translokasi

  1. Minimnya informasi tentang tahapan pemindahan.
    Siaran pers tidak menjelaskan secara rinci waktu pemindahan, metode penanganan, siapa yang memberi otorisasi, serta apakah prosedur sedasi atau pembiusan diterapkan. Informasi dasar semacam ini penting untuk menilai kesesuaian tindakan dengan pedoman nasional dan standar kesejahteraan satwa (animal welfare).
  2. Indikasi lemahnya perencanaan dan koordinasi antar pihak.
    Dari keterangan lapangan yang dihimpun anggota Forum HarimauKita, keputusan pemindahan tampaknya dilakukan secara mendadak tanpa keterlibatan dokter hewan penanggung jawab yang sebelumnya menangani satwa. Jika benar, hal ini menunjukkan adanya human error dan kegagalan komunikasi lintas otoritas — termasuk PPS Lampung, BKSDA Bengkulu, dan Ditjen KSDAE.
  3. Kondisi lingkungan dan stres satwa.
    Kami mencermati penggunaan frasa “menabrakkan diri”, kami menilai bahwa perilaku menabrak kandang bukan tindakan “menabrakkan diri”, melainkan bentuk reaksi stres ekstrem terhadap gangguan di sekitar. Potensi stres dapat meningkat jika terjadi kebisingan dan keramaian manusia di sekitar kandang.

Upaya satwa untuk menghindari stressor adalah berusaha menjauh atau keluar dari kandang yaitu dengan mendobrak atau menabrak pintu ataupun dinding yang menghalanginya untuk keluar. Semakin besar tenaga yang digunakan untuk melewati penghalang, maka semakin fatal dampak yang akan dialaminya bahkan bisa berakibat kematian karena luka traumatis yang serius pada organ-organ vital. Faktor-faktor ini semestinya diantisipasi dalam setiap kegiatan translokasi satwa liar.

Refleksi dan Rekomendasi
Pemindahan satwa khususnya harimau (liar) perlu perencanaan dengan pertimbangan teknis dan persiapan yang detail, tidak bisa dilakukan secara mendadak, agar aman bagi satwa dan/atau manusia.

Forum HarimauKita menilai bahwa kasus Bakas mencerminkan tantangan serius dalam tata laksana penanganan konflik dan translokasi harimau liar di Indonesia. Kematian satwa ini seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan sekadar insiden teknis.

Kami merekomendasikan:

  1. Evaluasi prosedur translokasi oleh BKSDA dan Ditjen KSDAE untuk memastikan setiap langkah sesuai dengan Permen LHK No. P.17/2018 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar.
  2. Penyusunan petunjuk teknis turunan (Juknis) yang lebih operasional terkait penanganan harimau agresif, termasuk panduan penanganan pasca-jerat, dan pemindahan antar lembaga konservasi.
  3. Pelatihan ulang bagi personel WRU, PPS, dan mitra konservasi mengenai aspek animal welfare, pengendalian stres satwa, serta koordinasi antar lembaga.
  4. Transparansi publik dan pembelajaran terbuka dari setiap insiden penanganan satwa dilindungi untuk memperkuat kepercayaan publik dan memperkaya basis pengetahuan konservasi nasional.
  5. Penanganan akar permasalahan dan faktor penyebab konflik di lapangan yang bermula pada penyempitan habitat, aktivitas manusia di daerah jelajah  dan perburuan satwa liar. Khusus Bakas ini dugaan terbesar penyebab KMH karena ada perilaku pembalasan  karena pernah terjerat sebanyak 2 kali.

Penutup
Forum HarimauKita menegaskan bahwa setiap individu harimau yang ditangani adalah aset genetik dan simbol moral perjuangan konservasi bangsa.

Kehilangan Bakas harus menjadi pelajaran kolektif agar setiap tindakan penyelamatan satwa dilakukan dengan kehati-hatian, keterlibatan ahli, dan rasa tanggung jawab yang tinggi.

Kematian seekor harimau liar bukan sekadar kehilangan biologis, tetapi juga cermin dari sejauh mana kita mampu menyeimbangkan keselamatan manusia dengan martabat satwa yang kita lindungi.

Forum HarimauKita sebagai wadah pegiat konservasi harimau dengan anggota yang memiliki ragam kapasitas, menyediakan diri untuk mendukung penguatan kapasitas dalam penanganan konflik, perawatan dan rehab pasca-konflik, termasuk translokasi satwa serta pelepasliarannya.

Atas Nama Forum HarimauKita
Iding Achmad Haidir, D.Phil
Ketua

Bagikan